Pemakai iPhone, BlackBerry & Gmail Terancam

Jumat, 02 Desember 2011




VIVAnews - Dikenal aktif memungut dan membocorkan kawat diplomatik, WikiLeaks tak terlihat akan stop beroperasi. Meski sang pentolan, Julian Assange, pernah dicokok di Inggris oleh pihak berwajib, khalayak luas agaknya masih akan terus dipasok data-data rahasia. 
Baru-baru ini, WikiLeaks meluncurkan proyek baru yang mengungkap tabir keburukan banyak perusahaan keamanan. Dalam laporannya, situs 'infak' data rahasia itu menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan keamanan aktif memperdagangkan informasi yang mereka dapatkan dengan cara mengawasi aktivitas pengguna telepon seluler (ponsel) dan komputer.
Seturut dengan dirilisnya "Spy Files", Assange menegaskan, "Faktanya, kontraktor intelijen menjual secara massal sistem pengawasan itu ke banyak negara di dunia."
Si pendiri WikiLeaks itu mengingatkan masyarakat internasional bahwa lebih dari 150 organisasi di antero bumi mampu menggunakan ponsel sebagai alat pelacak sekaligus peretas layanan SMS. Tak hanya itu, mereka juga tak sungkan menyadap panggilan telepon.
Pada tahap selanjutnya, ratusan organisasi itu menjual gelondongan data dari seluruh pengguna ponsel.
Proyek "SpyFiles" merupakan kerja sama antara syfiles.org, Privacy International, dan organisasi media dari enam negara, termasuk The Bureau of Investigative Journalism, Inggris. 287 dokumen telah siap dirilis.
Industri rahasia yang mengungkap data-data personal itu, menurut WikiLeaks, berharga miliaran dollar. Kemunculannya mulai ramai sejak tragedi 11 September 2001, ketika menara kembar World Trade Center (WTC) luluh lantak diserang teroris. 
Assange mendengus, "Siapa yang pakai iPhone? Siapa punya BlackBerry? Siapa yang buka email lewat Gmail? Saudara-saudara, Anda mati kutu." 
Ia beralasan bahwa detil informasi pribadi para pengguna gadget dan layanan surat elektronik (surel) yang ia sebutkan sedang diperjualbelikan oleh kontraktor intelijen. 

Dihukum 20 Tahun Karena Kirim SMS

Dihukum 20 Tahun Karena Kirim SMS


BANGKOK (Pos Kota) – Pengadilan di Thailand menjatuhkan hukuman penjara 20 tahun kepada seorang pria berusia 61 tahun karena mengirim SMS yang dianggap menghina kerajaan.
Ampon Tangnoppakul dinyatakan bersalah mengirimkan empat pesan pendek kepada seorang pejabat yang saat itu bekerja untuk mantan Perdana Menteri Abhisit Vejjajiva, pada puncak protes antipemerintah tahun lalu.
Ampon menghadapi dakwaan berdasarkan undang-undang kejahatan komputer dan undang-undang perlindungan reputasi kerajaan. Ia ditahan Agustus tahun lalu dan menyatakan tidak bersalah atas dakwaan itu.
Setelah ditahan, Biro Penyelidikan Thailand mengatakan pesan SMS itu “tidak layak dan dianggap menghina kerajaan dan membuat kesal pihak yang menerima.” Adapun isi SMS yang dimaksud tidak dijelaskan secara terperinci.
Keluarga kerajaan merupakan subjek yang sangat peka di Thailand. Raja Bhumibol, yang memegang tahta sejak 1950, sempat tampil di depan umum sejak masuk rumah sakit September 2009.
Pada mulanya ia dirawat karena radang paru-paru dan ia disebutkan harus tetap dirawat untuk terapi fisik dan gizi untuk memulihkan kondisinya.Raja Bhumibol Aduljadej dirawat di rumah sakit dalam dua tahun terakhir.
Raja Bhumibol Adulyadej, 83 tahun, adalah raja yang paling lama bertahta di dunia dan sangat dihormati warga Thailand.
Sejumlah akademisi menyatakan dalam tahun-tahun terakhir semakin banyak kasus penghinaan terhadap kerajaan. Organisasi-organisasi hak asasi manusia menyatakan prihatin bahwa undang-undang itu digunakan untuk menekan kebebasan berekspresi di bawah pemerintahan sebelumnya.
Bulan lalu, seorang warga Amerika Serikat kelahiran Thailand mengaku bersalah karena menghina monarki. Joe Wichai Commart Gordon ditahan bulan Mei lalu saat liburan di Thailand.
Ia dituduh menaruh taut atas terjemahan buku yang dilarang di blognya. Ia juga dituduh menerbitkan materi yang dianggap menghina saat tinggal di Amerika.
Utusan khusus PBB untuk kebebasan berekspresi Frank La Rue mendesak Thailand mengamandemen undang-undang yang terkait kerajaan ini.
Menyusul seruan PBB ini, Kementerian Luar Negeri Thailand mengakui bahwa undang-undang itu kemungkinan disalahgunakan namun tetap menekankan bahwa tujuannya untuk melindungi kerajaan, bukan membatasi kebebasan berbicara.
Chiranuch Premchaiporn, editor situs internet juga menghadapi hukuman penjara 20 tahun dengan dakwaan terkait kerajaan di situsnya. Namun taut di situs Chiranuch itu dicantumkan oleh orang lain.
Ia menolak dakwaan yang menyebutkan ia tidak segera mencabut 10 komentar orang lain yang dianggap mengkritik kerajaan, di situsnya pada 2008.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...